Santun di Ruang Digital: Antara Ekspresi Bebas dan Tantangan Etika
Oleh :
Armiah, S.IP,.M.Si
Dosen Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Antasari Banjarmasin

Pendahuluan
Di era transformasi digital, media sosial telah menjadi ruang eksistensial baru bagi generasi muda. Saat ini, platform seperti Instagram, TikTok, X, dan YouTube tidak hanya menjadi tempat bersosialisasi, tetapi juga arena aktualisasi diri, diskusi publik, dan pertarungan nilai. Aktivitas seperti menggulir konten (scrolling), memberi reaksi (liking), membagikan postingan (sharing), hingga menciptakan konten (content creation) sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari rutinitas harian mahasiswa.
Media sebagai Tempat Ekspresi Diri
Media digital telah berkembang menjadi ruang publik yang memungkinkan individu untuk mengekspresikan diri secara bebas dan terbuka. Dalam perspektif komunikasi, media tidak hanya berfungsi sebagai saluran informasi, tetapi juga sebagai cermin identitas, tempat berbagi pandangan, gagasan, perasaan, dan nilai-nilai pribadi kepada khalayak yang lebih luas. Ekspresi diri melalui media dapat diwujudkan dalam bentuk tulisan, gambar, video, meme, musik, hingga komentar dan reaksi digital.
Setiap unggahan di media sosial adalah representasi dari siapa kita, apa yang kita pikirkan, dan bagaimana kita ingin dilihat oleh orang lain. Media menjadi ruang performa, di mana identitas seseorang dibentuk dan dinegosiasikan secara dinamis.
Pakar komunikasi, Henry Jenkins (2006), menyatakan komunikasi digital memberi peluang besar bagi individu, khususnya generasi muda, untuk berpartisipasi dalam budaya partisipatif, di mana pengguna tidak hanya menjadi konsumen, tetapi juga produsen makna. Medsos memberi kebebasan bagi siapa pun untuk menciptakan narasi tentang diri mereka sendiri, membentuk komunitas berdasarkan minat bersama, dan menyuarakan opini yang mungkin terpinggirkan di ruang publik konvensional. Faktanya, kebebasan berekspresi di media sosial ini tidak lepas dari dilema etis. Munculnya komentar seksis, ujaran kebencian, serta bias gender yang tersebar luas menunjukkan lemahnya literasi etika digital. Kesadaran akan hal ini menjadi poin penting, yang harus diperhatikan bagi masyarakat kampus dan akademisi. Alasannya agar bukan hanya pemahaman akan kerja teknologi yang diperoleh, tetapi juga membangun budaya komunikasi digital yang sehat, adil, dan inklusif. Dengan demikian, media sebagai tempat ekspresi diri tidak hanya memiliki dimensi personal, namun berimplikasi sosial dan moral. Media sosial menjadi wadah artikulasi identitas, kreativitas, serta aspirasi, sekaligus arena dialog dan negosiasi nilai dalam masyarakat yang makin kompleks.
Etika Digital, Tantangan, dan Solusi
Etika digital dapat dimaknai sebagai seperangkat nilai, norma, dan prinsip moral yang mengatur perilaku individu dalam dunia maya. Menurut Charles Ess dalam Digital Media Ethics (2013), etika digital bukan sekadar tata krama virtual, tetapi bagian dari etika komunikasi yang melibatkan pertimbangan sosial, budaya, dan bahkan politik. Sementara itu, psikolog komunikasi, Dr. James W. Neuliep (2015), menyatakan perilaku digital seseorang sangat berkaitan dengan tingkat empati dan kepekaan sosialnya.
Ketika empati rendah, maka ekspresi digital cenderung impulsif, ofensif, dan destruktif. Pengguna media sosial perlu memperhatikan pelbagai aspek dalam menjalakan etika digital di antaranya: 1). Berpikir sebelum memposting. Setiap pesan memiliki dampak psikologis dan sosial. Ingat, sekali melakukan
unggahan di media sosial, jejak digitalnya akan terarsip seumur hidup. 2). Hindari ujaran kebencian dan pelecehan. Karena tindakan ini bukan hanya berdampak pada korban, tetapi juga menciptakan ekosistem digital yang tidak sehat bagi semua pihak. 3). Hargai keberagaman identitas pengguna media sosial yang beragam. Oleh karena itu, ekspresi identitas harus dihormati dan tidak boleh dipaksakan menurut norma mayoritas. 4). Penyebaran informasi palsu adalah bentuk pelanggaran etika karena merusak tatanan sosial dan psikologis masyarakat. Oleh karena itu, hindari menyebarkan hoaks dan disinformasi.
Upaya mewujudkan ruang digital yang santun dan bebas bias bukanlah tugas teknologi semata, melainkan tanggung jawab sosial seluruh pengguna media. Di lingkungan kampus dapat melakukan kegiatan literasi
digital yang tidak hanya fokus pada keterampilan teknis, tapi juga dimensi etis dan sosial, mendorong dialog antar mahasiswa lintas latar belakang dalam memahami identitas dan ekspresi masing-masing. Yang tidak kalah pentingnya adalah peran nyata dari para dosen dan organisasi kemahasiswaan dalam membimbing praktik komunikasi yang konstruktif dan inklusif. Hal ini selaras dengan pernyataan Howard Rheingold (2022), warga digital yang sehat bukan hanya mereka yang mampu memviralkan konten, tetapi juga yang mampu menciptakan percakapan yang bermakna, menghargai keragaman, dan menjaga martabat sesama pengguna.
Sebagai penutup, penulis tegaskan kemajuan digital seharusnya menjadi momentum bagi masyarakat, khususnya generasi muda, untuk mengembangkan komunikasi yang lebih beretika, inklusif, dan empatik.
Kebebasan berekspresi memang hak, namun tetap harus dibingkai oleh tanggung jawab moral. Saatnya kita sebagai warga digital, khususnya komunitas kampus, menjadikan ruang maya sebagai medium yang
mencerahkan, bukan mencederakan.