Membaca Kesalehan Gen Z Kalsel di Era Digital
Oleh :
Armiah, S.IP,.M.Si
Dosen Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Antasari Banjarmasin

Generasi Zennial yang hidup di kawasan perkotaan Kalimantan Selatan berada pada persimpangan yang khas antara kuatnya tradisi religius lokal dan
derasnya arus digitalisasi. Di kota-kota seperti Banjarmasin dan Banjarbaru, identitas keislaman masih menempati posisi penting dalam kehidupan sosial
masyarakat. Namun, cara generasi muda mengekspresikan keberagamaan mengalami pergeseran signifikan. Jika sebelumnya agama dipelajari dan
dipraktikkan terutama melalui masjid atau majelis taklim, kini ruang digital menjadi arena baru pembelajaran dan ekspresi religius. Platform seperti TikTok, Instagram, dan YouTube berperan besar membentuk pola keberagamaan Gen Z, sehingga lahir corak kesalehan yang bersifat personal, tetapi sangat dimediasi oleh teknologi digital.
Gambaran ini diperkuat oleh berbagai temuan empiris. Studi tentang religiositas Gen Z Muslim di Indonesia menunjukkan bahwa sekitar 83 persen
generasi ini menempatkan agama sebagai aspek penting dalam kehidupan mereka, terutama melalui praktik ibadah personal dan pembelajaran agama secara mandiri. Penelitian tentang dakwah digital yang dilakukan oleh Kadam Sidik, misalnya, menunjukkan bahwa penggunaan strategi komunikasi berbasis storytelling, humor, serta pemanfaatan tren media sosial efektif menarik perhatian dan meningkatkan pemahaman keislaman di kalangan Gen Z.
Interaksi aktif dengan audiens melalui kolom komentar dan siaran langsung juga terbukti membangun kedekatan emosional sekaligus memperkuat pesan dakwah. Temuan ini menegaskan bahwa pendekatan dakwah yang kreatif, komunikatif, dan selaras dengan karakter media digital mampu meningkatkan efektivitas penyebaran nilai-nilai Islam di kalangan generasi muda (Az-z et al., 2025) Pada saat yang sama, data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) tahun 2023 mencatat bahwa sekitar 87,8 persen Gen Z di Indonesia merupakan pengguna aktif internet, dengan media sosial sebagai aktivitas utama (Nurhakim, 2025). Bagi Gen Z yang tinggal di wilayah urban Kalimantan Selatan, agama dan media digital tidak lagi hadir sebagai dua ranah terpisah, melainkan membentuk satu ekosistem yang saling berkelindan dan memengaruhi cara mereka memahami serta mempraktikkan keimanan.
Fenomena ini sejalan dengan konsep cyber-Islamic environments yang diperkenalkan oleh Gary R. Bunt, yakni ruang keagamaan baru di mana otoritas agama tidak lagi sepenuhnya terpusat pada institusi formal, tetapi tersebar melalui pendakwah digital, kreator konten, serta mekanisme algoritma platform media
sosial (Bunt, 2003). Dalam konteks Kalimantan Selatan, dakwah digital umumnya hadir dalam format singkat, visual, dan emosional, dengan tema-tema yang dekat dengan pengalaman keseharian Gen Z, seperti hijrah, kegelisahan hidup, relasi sosial, dan etika kerja. Karakter konten semacam ini membuat dakwah digital relatif efektif menjangkau generasi muda perkotaan.
Berbagai penelitian di Indonesia juga menunjukkan bahwa konten dakwah pada platform video pendek mampu meningkatkan pemahaman dan sikap religius
Gen Z, terutama ketika disampaikan dengan bahasa yang komunikatif dan kontekstual. Namun, dampak tersebut lebih dominan pada ranah kesalehan
individual, seperti peningkatan kesadaran diri, niat beribadah, dan refleksi personal. Praktik keagamaan seperti mengikuti kajian daring, berdzikir melalui aplikasi, atau membagikan kutipan islami sering kali menjadi pengalaman yang bersifat personal sekaligus dipublikasikan secara digital, tetapi tidak selalu berujung pada keterlibatan sosial yang konkret. Kondisi ini tercermin dalam berbagai peristiwa sosial di Kalimantan Selatan. Ketika bencana banjir besar melanda sejumlah wilayah, media sosial dipenuhi unggahan doa, solidaritas, dan penggalangan donasi daring yang banyak diprakarsai oleh anak muda. Meski partisipasi digital tergolong tinggi, keterlibatan Gen Z sebagai relawan langsung di lapangan relatif terbatas. Fenomena ini menunjukkan bahwa kesalehan sosial sebenarnya hadir, tetapi masih bersifat click-based activism—aktif di ruang digital, namun minim keterlibatan fisik di ruang publik.
Padahal, dalam tradisi masyarakat Banjar, nilai badingsanak yang berarti persaudaraan erupakan fondasi moral kehidupan bersama. Nilai ini menekankan
kedekatan emosional, tanggung jawab timbal balik, serta kehadiran nyata dalam situasi suka dan duka. Dalam konteks keislaman lokal, badingsanak berfungsi
sebagai penghubung antara iman dan tindakan. Kesalehan tidak semata diukur dari ritual personal, melainkan dari sejauh mana seseorang hadir, peduli, dan terlibat dalam kehidupan sosial. Dengan demikian, etika keislaman Banjar sejak awal menempatkan kepedulian sosial sebagai manifestasi utama dari keberagamaan, bukan sebagai pelengkap yang bersifat opsional.
Namun, perubahan pola keberagamaan di era digital terutama di kalangan Gen Z perkotaan menunjukkan pergeseran dari etika kolektif menuju religiusitas yang semakin personal dan terfragmentasi. Praktik keagamaan kian banyak dijalankan secara individual melalui gawai, dengan kuatnya pengaruh algoritma dan logika platform media sosial. Di titik inilah peringatan para ahli sosiologi agama menjadi relevan. Peter L. Berger menegaskan bahwa religiusitas personal tidak serta-merta melahirkan kepedulian sosial. Agama baru memiliki daya transformasi ketika nilai-nilainya dilembagakan dalam praktik bersama melalui komunitas, institusi, dan tindakan kolektif. Tanpa proses pelembagaan sosial tersebut, agama berisiko tereduksi menjadi pengalaman batin yang individual dan terlepas dari tanggung jawab publik (Berger, n.d.).
Dalam konteks Gen Z perkotaan di Kalimantan Selatan, pemikiran Berger mengisyaratkan bahwa dakwah digital perlu melampaui ceramah dan motivasi
personal semata. Dakwah harus mampu menghadirkan narasi kolektif yang menghubungkan iman dengan tanggung jawab sosial di lingkungan sekitar. Karena
itu, diperlukan strategi konkret untuk menjembatani kesalehan digital dan kesalehan sosial. Dakwah digital dapat dipadukan dengan aksi komunitas nyata,
seperti kajian daring yang diakhiri dengan kegiatan sosial di kampung kota, masjid, atau kampus. Kolaborasi antara masjid, pesantren, komunitas pemuda, dan kreator konten lokal juga penting agar pesan keagamaan tetap berpijak pada konteks sosial Kalimantan Selatan. Selain itu, penguatan literasi digital religius diperlukan agar Gen Z tidak terjebak pada performativitas kesalehan atau polarisasi identitas. Penyediaan kanal partisipasi nyata seperti relawan kebencanaan, bank pangan, atau gerakan lingkunganmenjadi langkah penting agar pengalaman religius digital dapat dikonversi menjadi aksi sosial yang konkret.
Pada akhirnya, persoalan utama bagi Gen Z Kalimantan Selatan bukan terletak pada ada atau tidaknya religiusitas, melainkan pada arah keberagamaan
tersebut. Kesalehan personal mereka relatif kuat dan terus berkembang melalui media sosial. Tantangan terbesarnya adalah membangun jembatan agar kesalehan itu tidak berhenti sebagai ekspresi digital, tetapi menjelma menjadi kepedulian sosial yang nyata. Jika jembatan tersebut berhasil diwujudkan, Gen Z Kalsel tidak hanya akan dikenal sebagai generasi yang saleh di media sosial, tetapi juga hadir dan bermakna di ruang publik di tengah problem sosial perkotaan yang nyata.
Sumber : Artikel Asli
